Archive for 2015
Oleh : Eko Purnomo, S.Pd
Konsep budaya
politik berpusat pada imajinasi (pikiran dan perasaan) yang membentuk aspirasi, harapan, preferensi dan priorita
tertentu dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan sosial
politik. Diantara beberapa suku bangsa yang berpengaruh, cara berfikir Suku
Jawa kelihatan paling dominan. Dimana jumlah masyarakat Jawa mendominasi
kehidupan politik dan pusat pemerintahan berada di Jawa. Pola umum perilaku
masyarakat Jawa bahwa meeka cenderung menghindarkan diri pada situasi konflik
mereka karena selalu mudah tersinggung. Konsep dalam masyarakat Jawa membentuk
pola “tindak-tanduk yang wajar” yang berupa pengekangan emosi dan pembatasan
antusiasme serta ambisi. Menyakiti dan menyinggung orang lain dipandang sebagai
tindakanyang “kasar”. Selain itu, hal yang mempengaruhi masyarakat untuk
pilihan berpolitik adalah agama. Dimana, masyarakat dalam semua aspek
kehidupannya banyak dipengaruhi oleh agama. Dengan adanya hal ini, maka banyak
partai yang mengatas namakan agama untuk menarik perhatian masyarakat. Pada
kali ini, saya akan membahas mengenai peran sosial agama dan Kyai dalam kancah
perpolitikan di Indonesia.
Sejarah telah
mencatat bahwa Indonesia telah melewati berbagai macam transisi politik
nasional. Pada awal Kemerdekaan, sistem kepartaian di Indonesia diwarnai oleh politik
aliran yang kuat. Keadaan itu berubah pada masa Orde Baru di mana terjadi
penyederhanaan ideology partai dan adanya hegemoni yang kuat dari Golkar.
Setelah rezim Orde Baru runtuh, angin reformasi membawa perubahan yang s
Signifikan
pada sistem politik di Indonesia. Runtuhnya Orde Baru berarti membuka ruang
seluas-luasnya terhadap ideologi-ideologi baru untuk bertarung dalam ranah
politik.
Reformasi
dianggap sebagai titik tolak bagi proses demokratisasi pada segala aspek
kehidupan politik dan berkenegaraan di Indonesia. Banyak partai politik baru
berdiri setelah Reformasi dan masing-masing membawa ideologi yang berbeda.
Keadaan tersebut tidak terlepas dari disahkannya UU No 2 Tahun 1999 yang memberikan
kebebasan bagi semua partai politik di Indonesia untuk menentukan ideologinya
masing-masing. Pada Pemilu 1999, tercatat ada 48 partai politik peserta pemilu
dari total 141 partai baru yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM.
Geertz
menyebutkan secara umum ada tiga orientasi aliran dalam masyarakat Jawa yaitu Santri,
Priyayi dan Abangan. Walaupun hanya di Jawa, pengelompokan
tersebut dapat menggambarkan aliran ideologi yang berkembang di masyarakat
Indonesia. partai - partai politik pada waktu itu juga mengikuti jalur
religius-sekuler tersebut dalam menentukan ideologi yang mereka anut agar mendapat
dukungan dari masyarakat yang sealiran. Herbert Feith dan Lance Castle kemudian
mengelompokan partai politik peserta Pemilu 1955 ke dalam lima aliran yaitu
Komunisme, Sosialisme Demokratik, Nasionalisme Radikal, Tradisional Jawa dan
Islam.
Mengapa
partai - partai politik di Indonesia cenderung untuk mengikuti jalur-jalur
religius-sekuler sebagai dasar ideologi mereka? Masyarakat Indonesia pada
umumnya masih sangat terpengaruh oleh sistem-sistem nilai sosial yang berlaku
di lingkungan mereka. Pada konteks ini, ideologi partai dan orientasi aliran di
masyarakat juga terpengaruh oleh sistem nilai tersebut. Geertz menyatakan bahwa
nilai-nilai primordialisme adalah yang paling mempengaruhi kehidupan masyarakat
di Indonesia, termasuk dalam konteks politik. Primordialisme tersebut meliputi
nilai-nilai agama, ras, suku dan etnisitas.
Sebagai
akibat dari primordialisme tersebut, stratifikasi dalam masyarakat di Indonesia
tidak secara vertikal berdasar pada kelas, tetapi lebih berdasarkan pada kultur
atau secara horizontal. Misalnya masyarakat Indonesia sudah terlanjur terdogma
bahwa Presiden Indonesia harus orang Jawa dan Islam. Segmentasi tersebut pada
akhirnya akan menular pada partai politik yang ditunjukkan dengan label
ideologi mereka. Sebagai contoh sebuah partai politik akan merasa lebih bangga
bila mereka dianggap sebagai representasi partai Islamis atau Nasionalis. Tidak
ada partai politik yang secara spesifik mendefiniskan partai mereka misalnya
sebagai partai Buruh atau partai Konservatif.
Hubungan partai
politik di Indonesia dengan isu kelas sosial hanya sebatas isu dan kebijakan
saja. Pada umumnya, semua partai politik di Indonesia mengangkat isu-isu sosial
seperti ekonomi, pengangguran dan kesenjangan sosial. Mereka tidak secara
khusus menggunakan isu sosial tersebut sebagai paradigma utama dalam menjalankan
kebijakan-kebijakan partai politik, hanya sebagai jargon kampanye saja. Karena
itu sering terjadi kebijakan partai politik lebih berorientasi kepada
kepentingan golongan daripada berorientasi kerakyatan.
Seharusnya
apapun ideologi partai, baik itu berbasis agama, nasionalis atau sosialis,
keadaan sosial masyarakat di Indonesia harus menjadi perhatian utama. Isu
primordialis dalam dunia politik juga seharusnya tidak diangkat terlalu jauh karena
dapat mengelompokkan masyarakat Indonesia ke dalam faksi-faksi tertentu. Pada
akhirnya keadaan tersebut dapat berpotensi menghadirkan disintegrasi bangsa
karena banyaknya konflik kepentingan.
Meskipun
sudah sangat popular dikalangan masyarakat Indonesia, dalam konteks akademik,
istilah “kyai” untuk pertama kalinya diperkenalkan Gertz pada tahun 1960 dalam
kerangka studi Antropologi untuk mewakili sosok ulama dan kyai. Antara konsep
Ulama dan Kyai tidak sama, Ulama lebih memerankan fungsi-fungsi administratif,
sedangkan kyai cenderung bermain pada tataran kultural. Dengan penggunaan argumentasi ini, kita dapat
memahami mengapa perkumpulan formal komunitas pemilik ilmu agama Islam di
Indonesia menggunakan istilah “ulama”, yaitu mejelis ulama Indonesia dan bukan
majelis kyai Indonesia.
Fenomena
perbedaan perilaku sosial politik dikalangan kyai, dalam banyak hal dipengaruhi
oleh sekurang-kurangnya 2 faktor. Pertama,
faktor posisi sosial kyai yang menurut studi-studi terdahulu memperlihatkan
adanya suatu kekuatan penggerak perubahan masyarakat. Geertz (1960)
menunjukkkan kyai sebagai makelar budaya (cultural brokers) dan menyatakan
bahwa pengaruh kyai terletak pada pelaksanaan fungsi makelar ini. Meskipun
secara politis kyai dikategorikan sebagai sosok yang tidak mempunyai pengalaman
dan kemampuan professional, tetapi secara sosial terbukti mampu menjembatani
berbagai kepentingan terbukti melalui bahasa yang paling mungkin digunakan. Kedua, faktor kekuatan personal yang
diwarnai oleh pemikiran teologis yang menjadi dasar perilaku yang
diperankannya. Sebagai sosok yang sering diidentifikasi memiliki kharismatik di
tengah-tengah masyarakatnya, kyai dipandang memiliki kemampuan luar biasa untuk
mengerakkan masyarakat khususnya dalam menentukan pilihan-pilihan politik. Dia
bukan politisi, tetapi koalisi politiknya sering dianggap “fatwa” politik yang
terakhir untuk diikuti. Sebagai contoh Kasus Gusdur yang tetap pada
pendiriannya untuk mempertahankan pendiriannya sebagai presiden RI ketika itu,
seperti diketahui banyak kalangan, sebetulnya karena “nasehat-nasehat” kyai
yang mendorong keputusan seperti itu.
Di
dalam masyarakat islam, kyai merupakan salah satu elit yang mempunyai kedudukan
sangat terhormat dan dan berpengaruh besar pada perkembangan masyarakat
tersebut. Kyai menjadi salah satu elit strategis dalam masyarakat karena
ketokohannya sebagai sebagai figur yang mempunyai pengetahuan luas dan mendalam
mengenai ajaran Islam. Lebih dari itu, secara keagamaan ia juga dipandang
sebagai sosok pewaris para Nabi. Tidak mengherankan jika kyai kemudian menjadi
sumber legitimasi dari berbagai keagamaan, tapi juga hampir dalam semua aspek
kehidupannya. Pada titik inilah kita dapat melihat peran-peran strategis kyai,
khususnya dalam aspek kehidupan sosial politik di Indonesia.
Peran
sosial politik Kyai dalam sosial politik yang tumbuh dan berkembang khususnya
pada masyarakat Indonesia, akan selalu melibatkan persinggungan wacana antara
agama dan politik. Selain itu, kenyataan juga selalu mengilustrasikan perpaduan
agama dan poltik ini seperti terlihat pada peran-peran yang dimainkan sejumlah
kyai dalam panggung politik praktis paling tidak selama dalam beberapa dekade
terakhir ini. Diantara efek sosial dari
peran ganda yang ditimbulkannya adalah adanya pergeseran kecenderungan
masyarakat dalam menetapkan figur kepemimpinan khususnya Kyai.
Masyarakat
masih beranggapan bahwa secara normatif, Kyai masih dipandang sebagai sosok
kharismatik yang memainkan peran-peran sosialnya secara signifikan. Ia masih
ditempatkan sebagai sumber “fatwa” terakhir ketika masyarakat berada diantara
pilihan-pilihan politik yang membingungkan. Sementara disisi lain, fenomena
perubahan-perubahan struktur kognisi Kyai berkenaan dengan peran-peran sosial
politik tersebut berkaitan erat dengan persepsi keagamaan yang dianutnya. Untuk
memahami tarik menarik antara peran ganda Kyai dalam kehidupan sosial politik
dan agama, pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari usaha penelusuran akar keagamaan
yang menjadi kerangka dasar perilaku sosial politik yang diperankannya.
Berkaitan
dengan aspek keagamaan ini diantara hal menarik adalah adanya perbedaan yang
signifikan dalam menentukan pilihan-pilihan politik berdasarkan kecenderungan
keagamaan yang dianutnya. Ada diantara Kyai yang lebih lentur dan sangat mudah
berubah, sehingga politik terlihat semacam sebuah permainan untuk memenuhi
kebutuhan pragmatis yang senantiasa berubah dan berkembang. Sementara sebagian
lainnya, ada Kyai yang terkesan kaku, atau mungkin juga bisa disebut konsisten
dengan pendirian awalnya, sehingga tampak menempatkan politik dalam kerangka
persoalan prinsip. Perbedaan-perbedaan inilah tampaknya yang kemudian telah
ikut membidangi lahirnya partai-partai politik yang bernuansa agama dan
sekaligus dipelopori oleh figur-figur yang lebih dikenal sebagai Kyai daripada
Politisi.
Di
samping medan politik seperti disebutkan diatas, masih ada fungsi lain yang
ikut mempengaruhi kehidupan sosial politik suatu masyarakat, yaitu ajaran Islam
dan simbolisasinya, artinya ruang kehidupan politik itu pada praktiknya terus
menerus mendapat perimbangan dari nilai ideal dan moral ajaran Islam yang telah
dihayati masyarakat dalam waktu lama. Bagi masyarakat beragama, perubahan sosial
yang dilakukannya senantiasa berkaitan dengan simbol-simbol keagamaan yang
dimilikinya. Simbolisme keagamaan sendiri bagi kaum beragama merupakan hal yang
sangat penting, karena ia merupakan tempat keterbukaan psikologis yang asing
dan mengantarkan perilaku-perilaku pribadi yang khusus.
Hal
yang juga menarik berkaitan dengan peran sosial Kyai adalah adanya indikasi
bahwa, ada hubungan antara persepsi keagamaan dengan perilaku sosial politik
Kyai. Perbedaan persepsi keagamaan para Kyai memperlihatkan adanya perbedaan
perilaku sosial politik yang diperankannya.
Musim
kompetisi politik, musimnya pula berkunjung ketempat Kyai dan santri. Itu
selalu terjadi. Mulai dari pemilihan kepala desa, kepala daerah, hingga
pemilihan presiden. Pemilu Presiden 2009 ini, Kyai pun tak tertinggal menjadi
sasaran utama para capres untuk memasarkan dirinya, tak terkecuali juga tebar
uang saku.
Kyai dan politik
sepertinya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan bangsa ini. Era
kemerdekaan, para Kyai ikut andil besar dalam menyumbangkan kemerdekaan. Laskar
berbasis Kyai tak sedikit muncul. Seperti Hizbul Wathan yang dipimpin oleh
tokoh NU. Di era demokrasi pemilihan langsung era reformasi ini, peran Kyai
semakin menonjol. Setidaknya partai politik berbasis Kyai dan santri tumbuh
bermunculan. Indonesia bahkan pernah pula dipimpin seorang Kyai dari NU, KH
Abdurrahman Wahid alias Gud Dur yang juga mantan Ketua Umum PBNU.
Aura Kyai memang
mampu merubah para elit politik yang berkeinginan melakukan mobilisasi vertikal
(berkuasa). Ini bukan tanpa sebab. Kharisma yang dimiliki Kyai serta pengikut
yang banyak adalah muaranya. Karena, di basis pesantren seperti di Jawa Timur,
satu pesantren memiliki ribuan santri. Hal tersebut menjadi penyumbang suara
signifikan jika mampu mempengaruhi dan mengajak Kyai yang juga diharapkan mampu
mempengaruhi para santrinya. Tidak aneh jika menjelang pemilu presiden 2009,
sejumlah Kyai dan pesantren mendapat kunjungan para capres. Tidak aneh pula
jika menyaksikan Kyai kini lebih sering berada di hotel mewah melakukan pertemuan
dengan capres, bukan lagi di majelis taklim untuk mengaji.
Hal ini
terjadi bukan tanpa soal jika pasca reformasi ini keterlibatan Kyai dan ulama
dalam politik praktis menimbulkan persoalan serius, tetapi kunjungan para
capres atau tokoh politik bukanlah kunjungan gratis, melainkan memberi uang
saku untuk Kyai menjadi tradisi yang melekat.
Bagi guru
besar sosilogi agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bambang Pranowo, pengaruh
Kyai memang cukup besar dalam mempengaruhi umat atau santrinya. Namun, Bambang
menilai, selama 10 tahun terakhir ini terajdi pergeseran peran Kyai di mata
masyarakat. Tidak sepenuhnya fatwa Kyai dipatuhi santri dan umat. Jika fatwa
tentang keagamaan, dipatuhi secara mutlak, namun jika urusannya politik sudah
tidak lagi.
Tidaklah
haram bagi Kyai untuk berpolitik, namun politik moral yang jauh lebih tepat
daripada politik praktis dengan memihak pada satu kelompok. politik nilai yang
diperankan Kyai harusnya terus dijaga sebagai kekuatan masyarakat sipil yang
selalu mengingatkan para pemimpin dan mengawal kepentingan umat.
Daftar Pustaka
-
Geertz Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat
Jawa. Jakarta : Pustaka Jaya
-
http
: // www.psikologisosial.co.cc/jurnal4.pdf